Biodata Imam Al Ghazali

Sejarah Hidup Imam Al Ghazali
Imam Al Ghazali, sebuah nama yang tidak asing di telinga kaum muslimin. Tokoh terkemuka dalam kancah filsafat dan tasawuf. Memiliki pengaruh dan pemikiran yang telah menyebar ke seantero dunia Islam. Ironisnya sejarah dan perjalanan hidupnya masih terasa asing. Kebanyakan kaum muslimin belum mengerti. Berikut adalah sebagian sisi kehidupannya. Sehingga setiap kaum muslimin yang mengikutinya, hendaknya mengambil hikmah dari sejarah hidup beliau.
Nama, Nasab dan Kelahiran Beliau
Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191). Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali).
Sebagian lagi mengatakan penyandaran nama beliau kepada pencaharian dan keahlian keluarganya yaitu menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Demikian pendapat Ibnul Atsir. Dan dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali adalah yang benar.” Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama yang pertama dan berkata, “Saya telah bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah Al Ghazalah, dan mereka mengingkari keberadaannya.” Ada yang berpendapat Al Ghazali adalah penyandaran nama kepada Ghazalah anak perempuan Ka’ab Al Akhbar, ini pendapat Al Khafaji.
Yang dijadikan sandaran para ahli nasab mutaakhirin adalah pendapat Ibnul Atsir dengan tasydid. Yaitu penyandaran nama kepada pekerjaan dan keahlian bapak dan kakeknya (Diringkas dari penjelasan pentahqiq kitab Thabaqat Asy Syafi’iyah dalam catatan kakinya 6/192-192). Dilahirkan di kota Thusi tahun 450 H dan memiliki seorang saudara yang bernama Ahmad (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/326 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193 dan 194).
Kehidupan dan Perjalanannya Menuntut Ilmu
Ayah beliau adalah seorang pengrajin kain shuf (yang dibuat dari kulit domba) dan menjualnya di kota Thusi. Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya dari kalangan orang yang baik. Dia berpesan, “Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.”
Setelah meninggal, maka temannya tersebut mengajari keduanya ilmu, hingga habislah harta peninggalan yang sedikit tersebut. Kemudian dia meminta maaf tidak dapat melanjutkan wasiat orang tuanya dengan harta benda yang dimilikinya. Dia berkata, “Ketahuilah oleh kalian berdua, saya telah membelanjakan untuk kalian dari harta kalian. Saya seorang fakir dan miskin yang tidak memiliki harta. Saya menganjurkan kalian berdua untuk masuk ke madrasah seolah-olah sebagai penuntut ilmu. Sehingga memperoleh makanan yang dapat membantu kalian berdua.”
Lalu keduanya melaksanakan anjuran tersebut. Inilah yang menjadi sebab kebahagiaan dan ketinggian mereka. Demikianlah diceritakan oleh Al Ghazali, hingga beliau berkata, “Kami menuntut ilmu bukan karena Allah ta’ala , akan tetapi ilmu enggan kecuali hanya karena Allah ta’ala.” (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193-194).
Beliau pun bercerita, bahwa ayahnya seorang fakir yang shalih. Tidak memakan kecuali hasil pekerjaannya dari kerajinan membuat pakaian kulit. Beliau berkeliling mengujungi ahli fikih dan bermajelis dengan mereka, serta memberikan nafkah semampunya. Apabila mendengar perkataan mereka (ahli fikih), beliau menangis dan berdoa memohon diberi anak yang faqih. Apabila hadir di majelis ceramah nasihat, beliau menangis dan memohon kepada Allah ta’ala untuk diberikan anak yang ahli dalam ceramah nasihat.
Kiranya Allah mengabulkan kedua doa beliau tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang yang faqih dan saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi ceramah nasihat (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/194).
Imam Al Ghazali memulai belajar di kala masih kecil. Mempelajari fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di kota Thusi. Kemudian berangkat ke Jurjan untuk mengambil ilmu dari Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At Ta’liqat. Kemudian pulang ke Thusi (Lihat kisah selengkapnya dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/195).
Beliau mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini dengan penuh kesungguhan. Sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat. Beliau pun memahami perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang menyelisihinya. Menyusun tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu Al Juwaini (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191).
Setelah Imam Haramain meninggal, berangkatlah Imam Ghazali ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik. Karena majelisnya tempat berkumpul para ahli ilmu, sehingga beliau menantang debat kepada para ulama dan mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul Malik mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan memerintahkannya untuk pindah ke sana. Maka pada tahun 484 H beliau berangkat ke Baghdad dan mengajar di Madrasah An Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan tahun. Disinilah beliau berkembang dan menjadi terkenal. Mencapai kedudukan yang sangat tinggi.
Pengaruh Filsafat Dalam Dirinya
Pengaruh filsafat dalam diri beliau begitu kentalnya. Beliau menyusun buku yang berisi celaan terhadap filsafat, seperti kitab At Tahafut yang membongkar kejelekan filsafat. Akan tetapi beliau menyetujui mereka dalam beberapa hal yang disangkanya benar. Hanya saja kehebatan beliau ini tidak didasari dengan ilmu atsar dan keahlian dalam hadits-hadits Nabi yang dapat menghancurkan filsafat. Beliau juga gemar meneliti kitab Ikhwanush Shafa dan kitab-kitab Ibnu Sina. Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Al Ghazali dalam perkataannya sangat dipengaruhi filsafat dari karya-karya Ibnu Sina dalam kitab Asy Syifa’, Risalah Ikhwanish Shafa dan karya Abu Hayan At Tauhidi.” (Majmu’ Fatawa 6/54).
Hal ini jelas terlihat dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Perkataannya di Ihya Ulumuddin pada umumnya baik. Akan tetapi di dalamnya terdapat isi yang merusak, berupa filsafat, ilmu kalam, cerita bohong sufiyah dan hadits-hadits palsu.” (Majmu’ Fatawa 6/54).
Demikianlah Imam Ghazali dengan kejeniusan dan kepakarannya dalam fikih, tasawuf dan ushul, tetapi sangat sedikit pengetahuannya tentang ilmu hadits dan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang seharusnya menjadi pengarah dan penentu kebenaran. Akibatnya beliau menyukai filsafat dan masuk ke dalamnya dengan meneliti dan membedah karya-karya Ibnu Sina dan yang sejenisnya, walaupun beliau memiliki bantahan terhadapnya. Membuat beliau semakin jauh dari ajaran Islam yang hakiki.
Adz Dzahabi berkata, “Orang ini (Al Ghazali) menulis kitab dalam mencela filsafat, yaitu kitab At Tahafut. Dia membongkar kejelekan mereka, akan tetapi dalam beberapa hal menyetujuinya, dengan prasangka hal itu benar dan sesuai dengan agama. Beliau tidaklah memiliki ilmu tentang atsar dan beliau bukanlah pakar dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat mengarahkan akal. Beliau senang membedah dan meneliti kitab Ikhwanush Shafa. Kitab ini merupakan penyakit berbahaya dan racun yang mematikan. Kalaulah Abu Hamid bukan seorang yang jenius dan orang yang mukhlis, niscaya dia telah binasa.” (Siyar A’lam Nubala 19/328).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Abu Hamid condong kepada filsafat. Menampakkannya dalam bentuk tasawuf dan dengan ibarat Islami (ungkapan syar’i). Oleh karena itu para ulama muslimin membantahnya. Hingga murid terdekatnya, (yaitu) Abu Bakar Ibnul Arabi mengatakan, “Guru kami Abu Hamid masuk ke perut filsafat, kemudian ingin keluar dan tidak mampu.” (Majmu’ Fatawa 4/164).
Polemik Kejiwaan Imam Ghazali
Kedudukan dan ketinggian jabatan beliau ini tidak membuatnya congkak dan cinta dunia. Bahkan dalam jiwanya berkecamuk polemik (perang batin) yang membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan. Sehingga menolak jabatan tinggi dan kembali kepada ibadah, ikhlas dan perbaikan jiwa. Pada bulan Dzul Qai’dah tahun 488 H beliau berhaji dan mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad sebagai penggantinya.
Pada tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus dan tinggal beberapa hari. Kemudian menziarahi Baitul Maqdis beberapa lama, dan kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara barat masjid Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah). Tinggal di sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al Qisthas dan kitab Mahakkun Nadzar. Melatih jiwa dan mengenakan pakaian para ahli ibadah. Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun.
Ibnu Asakir berkata, “Abu Hamid rahimahullah berhaji dan tinggal di Syam sekitar 10 tahun. Beliau menulis dan bermujahadah dan tinggal di menara barat masjid Jami’ Al Umawi. Mendengarkan kitab Shahih Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin Ubaidilah Al Hafshi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
Disampaikan juga oleh Ibnu Khallakan dengan perkataannya, “An Nidzam (Nidzam Mulk) mengutusnya untuk menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad tahun 484 H. Beliau tinggalkan jabatannya pada tahun 488 H. Lalu menjadi orang yang zuhud, berhaji dan tinggal menetap di Damaskus beberapa lama. Kemudian pindah ke Baitul Maqdis, lalu ke Mesir dan tinggal beberapa lama di Iskandariyah. Kemudian kembali ke Thusi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan, beliau dipanggil hadir dan diminta tinggal di Naisabur. Sampai akhirnya beliau datang ke Naisabur dan mengajar di madrasah An Nidzamiyah beberapa saat. Setelah beberapa tahun, pulang ke negerinya dengan menekuni ilmu dan menjaga waktunya untuk beribadah. Beliau mendirikan satu madrasah di samping rumahnya dan asrama untuk orang-orang shufi. Beliau habiskan sisa waktunya dengan mengkhatam Al Qur’an, berkumpul dengan ahli ibadah, mengajar para penuntut ilmu dan melakukan shalat dan puasa serta ibadah lainnya sampai meninggal dunia.
Masa Akhir Kehidupannya
Akhir kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali mempelajari hadits dan berkumpul dengan ahlinya. Berkata Imam Adz Dzahabi, “Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”
Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.” Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.” Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari). (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34). Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14 Jumada Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran (Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/201).

Pengertian Ahli Sunnah Wal Jama’ah dari Segi Syari’at dan Istilah

Kalau kita mau merenungkan makna-makna dalam kalimat as sunnah dan makna-makna dalam kalimat al jama’ah, seperti yang disinggung dalam beberapa nash syari’at, dan seperti yang diungkapkan serta dipahami oleh para salafus saleh, kita akan tahu dengan jelas bahwa hal itu hanya cocok dan sesuai dengan golongan ahli sunnah wal jama’ah.
Siapa sebenarnya mereka? Apa sifat-sifat mereka? Dan apa manhaj mereka? Berdasarkan hal itu kita boleh mengidentifikasi siapa sejatinya ahli sunnah wal jama’ah dari beberapa segi sekitar yang menyangkut sifat-sifat mereka, ciri-ciri mereka, manhaj mereka, dan definisi mereka menurut kaca mata orang-orang salafus saleh bahwa yang dimaksud ialah mereka. Sebab, pemilik rumah itu jelas yang paling tahu isi rumahnya, dan pemimpin itu yang paling tahu rakyatnya.
Di antara segi tinjauan yang memungkinkan kita boleh mengetahui siapa ahlu sunnah wal jama’ah itu ialah:
Pertama, sesungguhnya mereka adalah para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Merekalah ahli sunnah, yakni orang-orang yang mengajarkannya, menjaganya, mengamalkannya, mengutipnya, dan membawanya baik dalam bentuk riwayat atau dirayat atau manhaj. Jadi merekalah yang paling dahulu mengenal sekaligus mengamalkan as sunnah.
Kedua, selanjutnya ialah para pengikut sahabat Rasaulullah shallallahu alaihi wa sallam. Merekalah yang menerima tongkat estafet agama dari para sahabat, yang mengutip, yang mengetahui, dan yang mengamalkannya. Mereka adalah para tabi’in dan generasi yang hidup sesudah mereka, kemudian orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari kiamat kelak. Mereka itulah sejatinya ahli sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Mereka berpegang teguh padanya, tidak membikin bid’ah macam-macam, dan tidak mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang beriman.
Ketiga, ahli sunnah wal jama’ah, mereka adalah para salafus saleh, yakni orang-orang yang setia pada Al Qur’an dan as sunnah, yang konsisten mengamalkan petunjuk Allah dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, yang mengikuti jejak langkah peninggalan para sahabat, para tabi’in, dan pemimpin-pemimpin pembawa petunjuk umat, yang jadi tokoh panutan dalam urusan agama, yang tidak membikin bid’ah macam-macam, yang tidak menggantinya, dan yang tidak mengada-adakan sesuatu yang tidak ada dalam agama Allah.
Keempat, ahli sunnah wal jama’ah ialah satu-satunya golongan yang berjaya dan mendapat pertolongan Allah sampai hari kiamat nanti, karena merekalah yang memang cocok dengan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:
“Ada segolongan dari umatku yang selalu membela kebenaran. Mereka tidak merasa terkena mudharat orang-orang yang tidak mendukung mereka sampai datang urusan Allah dan mereka tetap dalam keadaan seperti itu..”
Dalam satu lafazh disebutkan:
“Ada segolongan umatku yang senantiasa menegakkan perintah Allah….”
Kelima, mereka adalah orang-orang yang menjadi asing atau aneh ketika dimana-mana banyak orang yang suka mengumbar hawa nafsu, berbagai kesesatan merajalela, bermacam-macam perbuatan bid’ah sangat marak, dan zaman sudah rusak. Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:
“Semula Islam itu asing dan akan kembali asing. Sungguh beruntung orang-orang yang asing.”
Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam juga bersabda,
“Sungguh beruntung orang-orang yang asing, yakni beberapa orang saleh yang hidup di tengah-tengah banyak manusia yang jahat. Lebih banyak orang yang memusuhi mereka daripada yang taat kepada mereka.”
Sifat tersebut cocok dengan ahli sunnah wal jama’ah.
Keenam, mereka adalah para ahli hadist, baik riwayat maupun dirayat. Karena itulah kita melihat para tokoh kaum salaf menafsiri al tha’ifat al manshurat dan al firqat al najiyat, yakni orang-orang ahli sunnah wal jama’ah, bahwa mereka adalah para ahli hadist. Hal itu berdasarkan riwayat dari Ibnu Al Mubarak, Ahmad bin Hambal, Al Bukhari, Ibnu Al Madini, dan Ahmad bin Sinan. Ini benar, karena para ahli hadist lah yang layak menyandang sifat tersebut, mereka adalah para pemimpin ahli sunnah.
Mengomentari kalimat al tha’ifat al manshurat Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan: “Kalau yang dimaksud dengan mereka bukan ahli hadist, saya tidak tahu lalu siapa lagi?!”
Al Qadhi Iyadh mengatakan: “Sesungguhnya yang dimaksud dengan mereka oleh Imam Ahmad ialah ahli sunnah wal jama’ah, dan orang yang percaya pada madzhab ahli hadist.”
Menurut saya, seluruh kaum muslimin yang tetap berpegang pada fitrah aslinya dan tidak suka menuruti keinginan-keinginan nafsu serta tidak suka membikin berbagai macam bid’ah, mereka adalah ahli sunnah. Mereka mengikuti jejak langkah ulama-ulama mereka berdasarkan petunjuk yang benar.

Kenapa Dinamakan Ahli Sunnah Wal Jama’ah?
Dinamakan ahli sunnah, karena mereka adalah orang-orang yang berpegang pada sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, “Kalian harus berpegang teguh pada sunnahku.”
Adapun as sunnah ialah, syara’ atau agama, dan petunjuk lahir batin yang diterima oleh sahabat dari Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, lalu diterima oleh para tabi’in dari mereka, kemudian diikuti oleh para pemimpin umat dan ulama-ulama yang adil yang menjadi tokoh panutan, dan oleh orang-orang yang menempuh jalan mereka sampai hari kiamat nanti.
Berdasarkan hal inilah maka orang yang benar-benar mengikuti as sunnah disebut sebagai ahli sunnah. Merekalah yang sosok dengan kenyataan tersebut.
Sementara nama al jama’ah, karena mereka berpegang pada pesan Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam untuk setia pada jama’ah atau kebersamaan. Mereka bersama-sama sepakat atas kebenaran, dan berpegang teguh padanya. Mereka mengikuti jejak langkah jama’ah kaum muslimin yang berpegang teguh pada as sunnah dari generasi sahabat, tabi’in, dan para pengikut mereka. Mengingat mereka bersama-sama bersatu dalam kebenaran, bersama-sama bersatu ikut pada jama’ah, bersama-sama bersatu taat pada pemimpin mereka, bersama-sama bersatu melakukan jihad, bersama-sama bersatu tunduk kepada para penguasa kaum muslimin, bersama-sama bersatu mengerjakan yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, bersama-sama bersatu mengikuti as sunnah, dan bersama-sama bersatu meninggalkan berbagai perbuatan bid’ah, perbuatan yang terdorong oleh keinginan-keinginan nafsu, serta perbuatan yang mengundang perpecahan, maka merekalah jama’ah sejati yang mendapat perhatian Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam.
Terakhir kita sampai pada sebuah kesimpulan yang konkrit bahwa nama dan sifat ahli sunnah wal jama’ah adalah istilah yang bersumber:
Pertama, dari sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam ketika beliau menyuruh dan berpesan kepada kaum muslimin untuk berpegang teguh padanya, sebagaiman sabda beliau, “Berpegang teguhlah kalian pada sunnahku”, ketika beliau menyuruh dan berpesan kepada mereka untuk setia pada jama’ah, dan melarang menentang serta memisahkan diri darinya. Jadi nama ahli sunnah wal jama’ah adalah nama pemberian Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam. Beliaulah yang menyebut mereka seperti itu.
Kedua, dari peninggalan sahabat dan para salafus saleh yang hidup pada kurun berikutnya. Peninggalan tersebut menyangkut ucapan, sifat, dan tingkah laku mereka. Nama itu sudah mereka sepakati bersama dan menjadi sifat para pengikutnya. Peninggalan-peninggalan mereka itu ada pada karya-karya mereka yang tertulis dalam kitab-kitab hadist dan atsar.
Ketiga, istilah ahli sunnah wal jama’ah adalah keterangan syari’at yang didukung dengan kenyataan yang benar-benar ada. Istilah itu membedakan antara orang-orang yang setia pada kebenaran dari orang-orang yang suka membikin bid’ah dan menuruti keinginan-keinginan hawa nafsu. Ini berbeda dengan anggapan sementara orang yang mengatakan, bahwa ahli sunnah wal jama’ah adalah sebuah nama yang muncul di tengah perjalanan zaman. Nama ini baru ada di trngah-tengah perpecahan kaum muslimin. Padahal sebenarnya tidak begitu. Itu anggapan yang keliru. Ahli sunnah wal jama’ah adalah istilah atau nama ala syari’at yang berasal dari kaum salaf umat Islam. Artinya, ia sudah ada semenjak zaman sahabat dan para tabi’in yang hidup pada periode-periode awal Islam.
Mengenai anggapan sementara orang yang sudah menjadi budak nafsu bahwa ahli sunnah itu hanya terbatas pada orang-orang salaf mereka saja, dan bahwa yang dimaksud dengan salafus saleh adalah orang-orang yang mengikuti madzhab mereka, itu memang benar. Anggapan tersebut tidak keliru, karena salafus saleh memang ahli sunnah. Begitu pula sebaliknya, baik ditinjau dari pengertian syari’at maupun kenyataannya, sebagaimana yang sudah saya kemukakan di atas. Jadi siapa yang tidak mengikuti madzhab salaf dan tidak menempuh manhaj serta jalan mereka, berarti ia telah memisahkan dari as sunnah dan jama’ah.
Perlu kita katakan kepada orang-orang sesat yang meng-ingkari as sunnah dan para pengikutnya, bahwa itulah yang dimaksud as sunnah, dan mereka itulah para pengikutnya yang bernama ahli sunnah wal jama’ah. Jika kita berpaling dan menolak ucapan yang benar ini, maka kita hanya bisa mengingatkan mereka apa yang pernah dikatakan oleh Nabi Nuh alaihi salam kepada orang-orang yang berpaling dari seruan dakwahnya, seperti yang tertuang dalam firman Allah Ta’ala ini:
“Berkata Nuh, ‘Hai kaumku, bagaiman pikiranmu, jika aku ada mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku, dan diberi-Nya aku rahmat dari sisi-Nya, tetapi rahmat itu disamarkan bagimu. Apakah akan kamu paksakan kamu menerimanya, padahal kamu tiada menyukainya?”

Apakah Mereka Dibatasi Oleh Ruang dan Waktu?
Ahli sunnah wal jama’ah itu tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Mereka banyak terdapat di sebuah negara, namun sedikit di negara lainnya. Mereka terdapat banyak pada suatu kurun zaman, tetapi hanya sedikit pada kurun zaman yang lain. Tetapi yang jelas mereka selalu ada di mana dan kapan saja.
Di tengah-tengah mereka terdapat tokoh-tokoh terkemuka yang menjadi pelita kegelapan dan hujjah Allah terhadap makhluk-Nya hingga hari kiamat nanti. Dan karena jasa merekalah terwujud janji Allah yang akan menjaga agama ini.
Dengan demikian jelaslah siapa sebenarnya ahli sunnah wal jama’ah? Siapa itu salafus saleh? Pernyataan golongan-golongan tertentu yang mengaku sebagai ahli sunnah wal jama’ah tetapi nyatanya mereka justru memisahkan diri dari as sunnah dan jama’ah, serta menyerang para salafus saleh atau sebagian dari mereka, adalah pernyataan yang ditolak berdasarkan ketentuan-ketentuan syari’at, dasar-dasar ilmiah, dan fakta-fakta sejarah.
Demikian pula harus ditolak pengakuan-pengakuan bahwa seluruh kaum muslimin itu setia pada sunnah. Pengakuan seperti itu selain mendustakan berita dari Allah dan Rasul utusan-Nya shalallahu alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa ada perpecahan, juga berlawanan dengan kenyataan yang ada.
Demikian pula dengan pernyataan dan pengakuan-pengakuan lainnya.
Berdasarkan hal itu, maka sesungguhnya as sunnah bukanlah partai atau semboyan atau aliran yang dianut secara fanatik. Tetapi ia merupakan warisan peninggalan Nabi, mtode yang benar, jalan yang lurus tali yang kuat, dan jalan orang-orang beriman yang terang seterang siang. Siapa yang berpaling darinya pasti ia akan celaka.
Berbagai kesalahan, kekeliruan, dan bid’ah yang dilakukan oleh orang-orang ahli bid’ah atau oleh orang-orang yang mengaku sebagai ahli sunnah, itu sama sekali bukan dari ajaran as sunnah dan bukan mengikuti manhaj yang benar.

Pengertian Salafi

Oktober 11, 2007 by agungsulistyo
RasuluLlah SAW bersabda; “Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian yang mengikuti mereka, kemudian mereka yang mengikuti mereka. Kemudian, setelah kamu ada orang-orang yang bersaksi tanpa diminta untuk melakukannya, mereka berkhianat dan tidak bisa dipercaya, mereka bersumpah dan tidak memenuhinya….” [Al Bukhari dan Muslim]
Dengan tujuan untuk memahami apa yang dimaksud dengan istilah Salafi sangat penting untuk menjelaskan perbedaan antara istilah berikut; As salaf, As Salafiyyah dan As Salafi.
1. Kata As Salaf di cirikan pada sebuah era, dalam bentuk jamak disebut Al Aslaaf.Ayat dibawah ini menggunakan kata Salaf untuk pengerti secara tepat:
“Dan Firaun berseru kepada kaumnya (seraya) berkata: “Hai kaumku, bukankah kerajaan Mesir ini kepunyaanku dan (bukankah) sungai-sungai ini mengalir di bawahku; maka apakah kamu tidak melihat (nya)? Bukankah aku lebih baik dari orang yang hina ini dan yang hampir tidak dapat menjelaskan (perkataannya)? Mengapa tidak dipakaikan kepadanya gelang dari emas atau malaikat datang bersama-sama dia untuk mengiringkannya.” Maka Firaun mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu mereka patuh kepadanya. Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik. Maka tatkala mereka membuat Kami murka, Kami menghukum mereka lalu Kami tenggelamkan mereka semuanya (di laut), dan Kami jadikan mereka sebagai pelajaran dan contoh bagi orang-orang yang kemudian. [QS Al Zukhruf, 43, 51-56]
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barang siapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu, sebagai had-ya yang di bawa sampai ke Kakbah, atau (dendanya) membayar kafarat dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barang siapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.” [QS Al Ma’idah, 5: 95]
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).” [QS An Nisaa’, 4: 22]
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” [QS Al Baqarah, 2: 275]
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [QS An Nisaa’, 4: 23]
As Salaf secara bahasa adalah lawan dari khalaf yang berarti era sebelumnya dan sesudahnya. As Salaf terbagi menjadi dua era;
– As Salafus SalihIni adalah adalah golongan yang pertama dalam Ummat ini seperti Aadam, Nuh, Ibrahim, Musa, ‘Isa (as) dan lainnya serta RasuluLlah Muhammad SAW beserta Shahabat-shahabatnya ra.
– As Salafut TaalihIni termasuk seperti Iblis dan Fir’aun sebagaimana Allah SWT menyebutkannya dalam Qur’an.
2. Istilah As Salafiyyah adalah karekteristik pada sebuah manhaj, pluralnya disebut salafiyun. Kata ini diambil dari kata kerja Salafa yang berarti apa saja yang telah selesai, telah berlalu atau yang telah dimulai.
Istilah As Salafiyyah adalah sinonim dari apa yang disebut standar Islam (merujuk pada buku Standar Islam pada bab 1 oleh Syeikh Omar Bakri Muhammad) sebagaimana itu menujuk pada manhaj mengikuti Qur’an dan Sunnah berdasarkan dengan pemahaman Shahabah.
As Salafiyyah adalah standard dan itu bukan suatu karakter kelompok atau seseorang, selanjutnya bahkan menggunakan istilah seperti Salafiyyah Jihaadiyyah kurang tepat karena Salafiyyah secara defenisi termasuk Jihad.
As Salafiyyah dipahami sebagai berikut:
Ahlul Hadits – Ahli Hadits
Ahlul Atsar – Ahli Riwayat
Ahlul Jama’ah – Orang-orang dalam Jama’ah
Ahlus Sunnah – Orang-orang Sunnah
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
Al Firqatun Naajiyah – Golongan yang selamat
At Taa’ifah Al Mansurah – Kelompok yang dimenangkan
Al Ghurabaa – Orang-orang yang terasing
Al Mufridun – Orang-orang yang taat
Al Muwahhidun – orang-orang yang taat
An Nuzaa’minal Qabaa’il – orang-orang yang menolak kebiasaan dan tradisi
A Immatul Hudaa
Ahlul ittabaa’ – Mereka yang mengikuti Qur’an dan Sunnah berdasarkan dengan pemahaman Shahabat, yang berlawanan Ahlul Ibtidaa’ yang mengikuti lainnya dan bid’ah.
3. Istilah As Salafi adalah karekter seseorang yang membawa keyakinan dan manhaj tertentu.
Kesimpulan
As Salaf – Ketika menyebutkannya merujuk pada Imamus Salaf yaitu Rasulullah Muhammad SAW dan Shahabat-shahabatnya sebagai sebuah era yaitu generasi pertama.
As Salafiyyah – ini berarti ‘dalam jalan salaf’ merujuk pada metode tertentu atau mekanisme untuk memahami, merujuk dan mengikuti wahyu.
As Salafi – Merujuk pada seseorang yang mengikuti keyakinan dan metode tertentu (manhaj As Salafiyyah).
Apakah diperbolehkan menggunakan istilah Salafi?
Rasulullah SAW duduk bersma Fatimah ra dan dia merasa sedih, dia bertanya pada Rasulullah SAW jika kamu wafat besok siapa yang akan aku ikuti? Beliau SAW berkata; ‘Aku adalah sebaik-baik salaf bagimu wahai Fatimah.’ [Muslim, No, 2482]
Jika RasuluLlah SAW adalah sebaik-baik Salaf bagi Fatimah untuk merujuk pada setelah dia wafat maka beliau juga adalah sebaik-baik Salaf untuk kita ikuti.
Diriwayatkan oleh Rasyid Bin Sa’ad dalam bab menaiki kuda liar; salaf dahulu menyukai mengendarai kuda liar betina. [Bukhari, jilid 6. hal 66, Fathl Bari]
Rasyid Ibnu Sa’ad adalah seorang Taabi’ akbar dan selanjutnya salaf baginya adalah Shahabat. Ibnu Hajar berkata bahwa salaf disini adalah Rasulullah SAW dan para Shahabatnya.
Pada bab apa yang shahabat simpan dalam rumahnya (makanan), diriwayatkan oleh Imam Zuhri dimana dia berkata ‘Aku berada pada salafus salih (ulama salaf) dan mereka akan menyimpan makanan dan bahkan tulang gajah untuk menyisir rambut mereka, untuk sabun dan transportasi.’ [Bukhari, jilid 1 hal 342, Fathul Bari dan Bukhari, Jilid 5 hal. 208]
Ibnu Hajar berkata bahwa salaf bagi Ulama adalah RasuluLlah SAW. Hadits Muhammad Ibnu Abdullah, Ali Bin Syuqaiq mendengar Ibnu Mubarak berkata ‘Aku tidak mengambil Hadits dari Amru Ibnu Tsabit karena dia tidak setuju dengan beberapa salaf’. [Muqadimah Shahih Muslim, hal. 6]
Imamal Uzai’, Kitaab ul Syariyyah, Jilid 58 oleh Imam Al Aujirii berkata berkaitan dengan ayat: Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunah (Allah terhadap) orang-orang dahulu”. [Al Anfal, 38] Tetap berdiri pada Sunnah dan berdiri dimana Salaf telah berdiri dan berkata apa yang telah mereka katakan, menahan diri dari apa yang mereka hindari, mengikuti manhaj Salafus Shalih, apa yang cukup bagi mereka adalah cukup bagi mereka.’
Ada ijma dari Tabi’in dan Tabi Tabi’in tentang istilah ‘salaf’.
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa ada ijma tentang istilah salaf dalam kitabnya Al Fataawa, Jilid 1, hal. 149 dimana dia menjawan Al Izzul dien Ibnu Abdus Salam adalah seorang yang beraqidah Ashari menyatakan menjadi seorang salafi. Ibnu Taimiyah berkata; …dan itu adalah orang yang menyamarkan dirinya sendiri dengan Mahzab salaf, tidak punya rasa malu atas orang yang mengklaim mengikuti salaf dan mengatributkan dirinya pada mereka dan menyatakan menjadi seorang salafi, kita harus menerima ini darinya karena jalan salaf adalah haq dan jika apa yang kamu sembunyikan sama dengan apa yang kamu tampakan maka kamu adalah mu’min dan jika itu tidak maka kami akan menilai yang ditampakkan dan Allah SWT mengetahui apa yang disembunyikan, dan in adalah apa yang Allah wajibkan kepada kita untuk menilai.
Apa yang Ibnu Taimiyah katakan adalah bahwa kita seharunya menerima dari seseorang yang mengklaim mengikuti salaf dengan menyebut dirinya sebagai seorang salafi dengan tujuan untuk mendorongnya dalam mengikuti manhaj ini, yang lebih baik daripada mengatakan bahwa mereka adalah Ashari dan Maturidi.
Tanda-tanda Ahlul Bid’ah adalah bahwa mereka tidak suka disebut Salafi
Ibnu Taimiyah, jilid 4 hal hal. 155, Kitabul Fatawa berkata; slogan ahlul bid’ah adalah bahwa mereka tidak pernah setuju diatributkan pada salaf.
Hafidz Ibnu Maruuf Ibnu Muhammad juga mengetahui sebagaimana Abu Tahir As Salafi bahwa ‘Salafi’ mempunyai dua fatha dan dia adalah seseorang yang mengikuti jalan salaf.
Muhammad Ibnu Muhammad Al Bahraani berkata bahwa dia berlaku sebagaimana salafi.
Ahmad Ibn Ahmad Al Maqdisi berkata bahwa dia seseorang yang berada pada Aqidah Salaf.
Daaruqutuni berkata bahwa tidak ada yang aku benci selain ilm kalam, tidak ada seorangpun yang memasuki ilmu ini, membantah dan berdebat kecuali Ahlul Bid’ah. Imam Dhahabi berkata tentangnya bahwa dia tidak pernah berbicara tentang Kalaam dan bahwa dia seorang Salafi.
Sebagian orang berkata bahwa tidak dibolehkan untuk menyebut diri kita salafi disaat apa yang Allah SWT katakan dalam Qur’an… maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa. [QS An Najm, 53:32]
Fuqaha berkata bahwa jika seseorang berkata aku Atsari atau salafi dibolehkan melakukannya jika dia menjelaskan aqidahnya kepada orang lain, jika itu lakukan dengan tujuan untuk memuji dirinya sendiri maka itu dilarang.
Alasan bahwa kita tidak menggunakan istilah salafi dan mengatributkan diri kita karena Allah SWT melarang kita untuk memuji diri kita dan selanjutnya dilarang menggunakannya kecuali kita menginformasikan kepada orang lain tentang aqidah kita dengan tujuan agar mereka mengerti.

Taubat Pengasas Falsafah Sifat 20

Powered by WordPress | iFreeCellPhones.com offers free mobile phones. | Thanks to PalmPreBlog.com, Facebook Games and Fettverbrennungsofen