Ada yang beranggapan bahawa sembahyang berkasut adalah suatu yang baru. Sebenarnya, sembahyang berkasut bukan satu perkara baru dan kalau ada yang menganggap hal itu suatu yang baru, ia tak semestinya haram. Yang baru dan jarang dibuat orang itu bukan semestinya haram.
Syeikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’e dalam kitabnya Majmu’ Rasa’il ‘Ilmiyyah telah mengatakan bahawa solat dengan memakai sepatu merupakan suatu sunnah yang sudah dilupakan.
Ibnu Muflih dalam kitabnya al-Aadaab Al-Syar’iyyah Jil 3 hlm 511 telah meletakkan bab khusus “Fasl Istihbab Salah fi Ni’al” (Perihal Disunnahkan solat dengan memakai kasut), lalu dia berkata Syeikh Ibn Taimiyyah rahimahullah menyebutkan bahawa solat dengan memakai sandal atau sejenisnya itu disunnahkan.
Ada hadis berkenaan bab ini daripada Abu Maslamah Said Bin Yazid Al-Azyid radhiyallahu ‘anhu katanya, “aku pernah bertanya Anas bin Malik adakah Rasulullah SAW pernah solat dengan memakai kasut?” Anas menjawab “Ya!” (Hadis riwayat Imam Bukhari no. 386, Muslim no. 555 dan dalam sunan Tirmidzi n0. 396)
Kemudian Abu Maslamah mengatakan bahawa para ulama sepakat mengamalkannya.
Begitu juga hadis dari Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash dia berkata : ” Aku pernah melihat Rasulullah mengerjakan solat dengan kaki telanjang (tidak berkasut) dan berkasut”. Hadis riwayat Ahmad no.6627, Abu Daud no.653, Ibn Majah no. 1038.
Abu Sa’id al-Khudri meriwayatkan bahawa suatu ketika Rasulullah SAW mengerjakan salat, beliau membuka kedua kasutnya, lalu orang-orang yang ada dibelakang beliau pun membuka kasut mereka. Selesai solat, beliau bertanya : Kenapa kamu semua membuka kasut kamu? Mereka menjawab : Wahai Rasulullah SAW, kami melihat engkau membuka kasut, sebab itu kami juga membuka kasut. Beliau berkata : “Sesungguhnya Jibril mendatangiku, lalu memberitahuku bahawa ada kotoran ( Najis ) di kedua kasutku. Jika salah seorang diantara kamu mendatangi masjid, maka tengklah kasutnya. Kemudian lihatlah, jika ada kotoran (najis) pada keduanya, maka gosok-gosokkanlah ke tanah, setelah itu solatlah dengan memakai keduanya”. hadis riwayat Ahmad no. 1153, Abu Daud no. 605, Ibn Khuzaimah no. 1017. Pentahqiq kitab al-Musnad Imam Ahmad mensahihkannya.
Beberapa ulama Hadis ada menerangkan berkenaan isu ini.
1. Imam Tirmidzi didalam kitab sunannya ketika meriwayatkan hadis pertama diatas berkata “Didalam bab ini terdapat hadis dari Abdullah Ibnu Masud,Abdillah bin Habibah,Abdillah bin Amr,Amr Bin Huraits,Syaddad bin Ans,Ats Tsaqafi,Abu Hurairah dan Atha’ dari bani hanidah.Dan hadis ini diamalkan oleh para ahli ilmu.
2. Imam al-Iraqi didalam syarahnya terhadap kitab sunan Imam Tarmidzi “Bahawa solat dengan memakai kasut diamalkan dan disukai oleh Umar Al-khatab,Uthman Ibnu Affan,Abdullah Ibnu Abbas,Anas bin Malik,Salamah bin Al-Akwa dan Aus ibnu Ath-Tsaqafi (RA)
Sabda Nabi Muhammad SAW “Berperilakulah yang berlawanan dengan orang-orang yahudi kerana mereka tidak mengerjakan solat dengan memakai sandal atau kasut mereka”(Hadis dari Syaddan binAus dari Ayahnya,Sunan Abu Daud no:622). Hadis ini diucapkan oleh Nabi disebabkan pada awal penghijrahan umat Islam ke Madinah ketika itu di Madinah sudah ada kaum Yahudi yang tinggal disana.
Dan ada sebahagian kita akan ragu-ragu dengan sunnah ini tapi kita kena ingat bahawa Sunnah Nabi adalah lebih utama kita ikuti daripada pandangan kita sendiri atau keraguan nafsu. al-Imam Ibnu Qoyyim menyatakan dalam hal ini “Antara yang tidak menyenangkan hati orang yang was-was ialah solat dengan berkasut padahal ia adalah sunnah Nabi SAW dan para sahabat.” Imam Ahmad pernah ditanya mengenai solat berkasut, maka katanya “Demi Allah solat berkasut itu adalah baik benar”
Kenyataan saya ini bukanlah ingin mempromosi solat dengan memakai kasut. Bukan juga tidak lama lagi saya ingin mengeluarkan produk ‘kasut untuk solat’. Tidak sama sekali. Apatah lagi hendak menyeru orang ramai masuk kedalam masjid dengan memakai kasut memijak marmar, karpet, kayu yang indah-indah semata-mata mahu mengamalkan sunnah. Kalau saya jadi Tok Imam Masjid pun marah masuk pakai kasut. Kasihankan tok siak masjid. Namun ianya sekadar jawapan yang ditanya oleh beberapa pihak yang menolak dengan keras perilaku solat dengan memakai kasut walaupun di atas padang, dan di tempat yang sukar dihamparkan sejadah seperti adat kebiasaan kita turun temurun.
Saranan saya, kalau boleh buka kasut, buka sahaja untuk mengelakkan fitnah dari tersebar di kalangan masyarakat. Namun sekali sekala proses mempromosikan sunnah yang ditinggalkan ini juga perlu dilakukan dengan hikmah. Ini kerana, takut-takut, kita mengeji, menghina, mengutuk sesuatu yang bukan atas dasar ilmu. Sedangkan ianya merupakan sunnah dan petunjuk dari Nabi SAW.
This is featured post 1 title
To set your featured posts, please go to your theme options page in wp-admin. You can also disable featured posts slideshow if you don't wish to display them.
This is featured post 2 title
To set your featured posts, please go to your theme options page in wp-admin. You can also disable featured posts slideshow if you don't wish to display them.
This is featured post 3 title
To set your featured posts, please go to your theme options page in wp-admin. You can also disable featured posts slideshow if you don't wish to display them.
Sembahyang Berkasut…?
Hukum Hadyu dan Udhhiyah
Oleh:
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan
A. Definisi
Hadyu adalah sesuatu yang dihadiahkan (oleh jamaah haji yang bukan dari penduduk Makkah –pent) untuk Al-Haram (kota Makkah) dan disembelih di sana, berupa hewan ternak (unta, sapi, atau kambing -pent) atau yang lainnya. Ia dinamakan hadyu karena dia dihadiahkan atau dipersembahkan untuk Allah.
Sedangkan Udhhiyah atau hewan qurban adalah hewan tertentu yang disembelih oleh muslimin yang tidak sedang berhaji, pada hari ‘ied al-adhha (10 Dzulhijjah) dan hari-hari tasyriq (11, 12, 13 Dzulhijjah) sebagai upaya taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah.
B. Dalil Pensyari’atan
Allah berfirman: “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah kalian karena Allah, maka jika kamu terkepung, menyembelih hadyu-lah dengan yang mudah didapat. Dan jangan kalian mencukur rambut hingga al-hadyu sudah sampai di tempat penyembelihan, maka siapa yang sedang sakit atau ada luka di kepalanya, maka fidyahnya adalah dengan puasa atau shadaqah atau menyembelih hewan. Namun, jika kalian sudah aman, maka siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji, maka hendaklah ia ber-hadyu dengan hewan yang mudah didapat. Maka, siapa yang tidak mendapatinya, maka berpuasalah selama tiga hari di hari-hari haji dan tujuh hari setelah pulang. Itulah sepuluh hari yang sempurna. Yang demikian itu adalah diwajibkan atas jamaah haji yang bukan dari penduduk Makkah. Dan bertaqwalah kalian kepada Allah, dan ketahuilah bahwasannya Allah sangat keras siksaannya. Q.S. Al-Baqarah: 196.
Seluruh ulama telah bersepakat atas pensyari’atan kedua jenis ibadah ini. Al-Allamah Ibnul Qoyyim berkata : “Qurban adalah untuk Sang Khaliq (Allah), merupakan tebusan atas jiwa yang memperoleh kehancuran, dan Allah telah berfirman : {“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syari’atkan penyembelihan (qurban) supaya mereka menyebut nama Allah atas binatang ternak yang telah dirizkikan Allah kepada mereka…”} Q.S Al-Hajj : 34. Maka menyembelih hewan ternak dan mengalirkan darahnya (disembelih –pent) dengan menyebut nama Allah senantiasa disyari’atkan dalam setiap millah (Agama seluruh para Nabi -pent).”
C. Jenis Hewan Sembelihan
Hewan sembelihan (hadyu dan udhiyah) yang paling utama adalah unta, kemudian sapi –jika dikeluarkan (dishadaqahkan) semuanya secara utuh- kemudian kambing.
Dan yang paling utama untuk setiap jenis tersebut adalah yang paling gemuk, kemudian yang paling mahal, berdasarkan firman Allah : “…Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah maka itu sesungguhnya timbul dari ketaqwaan hati.” Q.S Al-Hajj : 32.
Dan tidak boleh untuk dijadikan sembelihan kecuali jadza’ yaitu domba yang usianya mencapai 6 bulan dan tsaniy yaitu unta yang umurnya mencapai 5 tahun, atau 2 tahun untuk sapi dan 1 tahun untuk kambing kacang.
D. Boleh Berserikat atas Unta dan Sapi
Dan diperbolehkan dalam hadyu menyembelih satu ekor kambing untuk satu orang, sedangkan dalam udhiyah diperbolehkan untuk satu orang dan anggota keluarganya (istri dan anak-anaknya). Dan diperbolehkan dalam hadyu dan udhiyah satu ekor unta atau sapi untuk tujuh orang, berdasarkan perkataan Jabir bin ‘Abdullah : “ Rasulullah SAW memerintahkan untuk berserikat dalam satu ekor unta atau sapi untuk tujuh orang.”(HR. Muslim).
Berkata Abu Ayyub : “Pada zaman Rasulullah SAW diperbolehkan seseorang menyembelih satu ekor kambing untuk dirinya dan anggota keluarganya, mereka memakannya dan memberikan sebagiannya untuk dimakan orang lain”.(HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan At-Tirmidzi dan beliau (at-Tirmidzi) men-shahihkannya). Dan satu ekor kambing untuk satu orang lebih utama daripada satu ekor unta atau sapi untuk tujuh orang (sebagian ulama menyatakan tentang standar lebih utama berdasarkan keoptimalan manfaat bagi fakir-miskin –pent)
E. Hewan Harus Sehat dan Selamat dari Cacat
Tidak boleh dalam hadyu dan udhiyah kecuali hewan yang sehat/selamat dari sakit, cacat atau kurus; maka tidak boleh hewan yang bermata picak (cacat sebelah mata), buta, kurus, pincang, ompong (giginya tidak ada sejak asal), dan hewan yang susunya sudah kering (karena usianya yang sudah renta). Begitu juga tidak boleh hewan yang sakit secara jelas. Berdasarkan hadits Barra’ bin ‘Azib, dia berkata : Rasulullah bersama kami kemudian beliau bersabda: “Empat hal yang tidak boleh dalam sembelihan ; hewan bermata picak (cacat sebelah mata) yang jelas-jelas picaknya, hewan sakit yang jelas-jelas sakitnya, hewan pincang yang jelas-jelas pincangnya dan hewan kurus yang tak ada sumsumnya.” (HR. Abu Dawud dan An-Nasai)
F.Waktu Penyembelihan
Waktu penyembelihan hadyu bagi haji tamattu’ dan udhiyah adalah setelah shalat ‘iedul adha sampai akhir hari tasyriq (sebelum terbenam matahari tanggal 13 Dzulhijjah –pent), berdasarkan pendapat yang shahih/benar.
G. Alokasi Daging Sembelihan
Disunnahkan bagi pequrban untuk memakan sebagian daging dari hadyu (bagi haji tamattu’ atau qiran) dan udhiyahnya, dan menghadiahkan (kepada kerabat dan tetangga) dan bershadaqah ( kepada para faqir miskin), jadi masing-masing sepertiga bagian, berdasarkan firman Allah : “…Maka makanlah dari sebagiannya dan beri makanlah orang lain…..” (al-Hajj : 36)
Adapun bagi hadyu jabran (seorang yang sedang berhaji yang diharuskan menyembelih hewan karena melanggar satu atau beberapa larangan atau meninggalkan hal yang wajib dalam ihram -pent), maka tidak boleh baginya memakan daging tersebut sedikitpun.
H.Beberapa Larangan bagi Pequrban
Barangsiapa yang berniat untuk berqurban, jika telah masuk tanggal 10 Dzulhijjah, maka ia tidak boleh mencukur rambut dan memotong kukunya sampai selesai penyembelihan hewan udhiyah. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah : “ Jika masuk tanggal 10 Dzulhijjah, dan salah seorang diantara kalian berniat untuk berqurban makan janganlah mengambil sesuatu dari rambut dan kukunya sampai selesai menyembelih.” (HR. Muslim)
Dan jika dia tetap melakukannya (mencukur rambut atau memotong kukunya sebelum selesai penyembelihan) maka hendaknya dia meminta ampun kepada Allah, akan tetapi tidak ada keharusan membayar fidyah/kafarat atasnya.
*** Diterjemahkan oleh Mujahid Aslam dengan beberapa tambahan.
http://www.siwakz.net/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=8
Sentuh Kemaluan Tak Batal Wuduk
Masaalah menyentuh kemaluan, para ulama berbeza pandangan samaada ia membatalkan wudhu ataupun tidak, di bawah ini sebahagian petikan kasar dari fatwa al-Qaradhawi.
Terdapat beberapa pandangan dalam masaalah ini :
1- Tidak membatalkan wudhu. Pendapat ini diriwayatkan dari ‘Ali, Ibn Mas’ud, ‘Ammar, Huzaifah, ‘Imran bin Husain dan Abu Darda’ dari kalangan sahabat Nabi saw. Ini juga pendapat Rabi’ah, al-Thauri, Ibn Munzir, Abu Hanifah dan sahabatnya dan satu riwayat daripada Ahmad.
Hujah mereka adalah hadith yang diriwayatkan oleh al-Nasa-ie tentang seorang badwi yang bertanya kepada Nabi saw :
يا رسول الله! ما ترى في رجل مسَّ ذكره في الصلاة؟ قال: وهل هو إلا مضغة منك ـ أو بضعة منك ـ؟
Maksudnya : “Wahai Rasulullah ! Apa pandangan kamu tentang seorang lelaki yang menyentuh kemaluannya ? Jawab Nabi saw : “dan bukankah ia itu tidak lain melainkan seketul daging daripada kamu atau sebahagian daripada kamu ?”
Ibn Hajar di dalam Bulugh al-Maram berkata : Hadith ini dikeluarkan oleh al-Khamsah, dan ianya disahihkan oleh Ibn Hibban. al-Son’ani di dalam Subul al-Salam berkata : “Hadith ini diriwayatkan juga oleh Daruqutni, dan al-Tohawi berkata : Sanadnya Mustaqim tanpa Mutdtarib, dan ianya disahihkan juga oleh al-Tabrani dan Ibn Hazm. Mereka berkata : “Kerana ianya (kemaluan) satu anggota dari badan insan, maka dia tidak membatalkan wudhu dengan menyentuhnya, sama seperti menyentuh anggota yang lain.”
2- Membatalkan wudhu. Ini yang zahir dari mazhab Ahmad, demikian juga pandangan Ibn Omar, Sa’id bin Musayyib, ‘Ato, Urwah, Sulaiman bin Yasar, al-Zuhri, al-Auza’ie, al-Syafi’ie dan masyhur dari Malik.
Hujah mereka ialah hadith yang diriwayatkan dari Busrah binti Sofwan oleh Malik di dalam al-Muwatta’, sabda Nabi saw :
من مس ذكره فليتوضأ
Maksudnya : “Sesiapa yang menyentuh kemaluanya, maka hendaklah dia berwudhu.”
al-Tirmizi berkata : Hadith ini hasan sahih. Berkata al-Bukhari : Hadith ini أصح شيء في الباب. Hadith ini juga disahihkan oleh Ahmad.
Sesuatu yang penting untuk diketahui [perkataan al-Bukhari (أصح شيء في الباب) asahhu syai’ fi al-bab] tidak memaksudkan kesahihan hadith tersebut, bahkan ia membawa maksud itulah sebaik-baik yang ada, walaupun ia tidak sampai ke darjat sahih dengannya semata-mata.
al-Qaradhawi juga menyebut satu kisah tentang hadith ini yang mana ‘Urwah bin Zubair mengingkari hadith daripada Busrah Binti Sofwan ini. al-Qaradhawi berkata :
“Dan termasuk dari hak seseorang untuk dia tawaqquf (berhenti tidak menggunakan) hadith ini (disebabkan adanya keraguan). Bagaimana boleh orang seperti ‘Urwah bin Zubair tidak mengetahui hadith ini, dan dia tidak tahu langsung tentang hukum ini (sentuh kemaluan membatalkan wudhu) dan dia terkejut dengannya (dengan pendapat Busrah binti Sofwah tersebut) dan dia mempersoalkannya, sedangkan dia (Urwah bin Zubair) tinggal di Madinah, salah seorang ulama Madinah, salah seorang rawi di Madinah, salah seorang fuqaha’ yang tujuh yang terkenal. Bapanya al-Zubair, Ibunya Asma’ pemilik dua pengikat pinggang (النطاقين), mak saudaranya ‘Aa-isyah, dan dia (‘Urwah) seorang yang paling terkenal meriwayatkan dari ‘Aa-isyah. Bagaimanakah perkara ini diketahui oleh Busrah seorang sahaja ? tidak sahabat lainnya ? Terutamanya hadith ini tidak diriwayatkan dalam salah satu dua kitab yang sahih, tidak di dalam al-Bukhari dan tidak di dalam muslim. Tambahan pula ulama yang berpendapat batal (batal wudhu dengan menyentuh kemaluan kerana hadith ini) meletakkan syarat jika menyentuhnya tanpa lapik. Sebahagian yang lain meletakkan pula syarat lain, batal jika sentuh dengan tapak tangan kerana itulah alat sentuhan. Sebahagian yang lain meletakkan syarat jika sentuh dengan sengaja, kalau tersentuh, atau terlupa maka tidak membatalkan wudhu. Ditanya kepada Imam Ahmad : “(Perlu) wudhu bagi orang yang menyentuh kemaluan ?” Beliau menjawab : “(jika) seperti ini” sambil dia menggenggam tangannya, yakni jika seseorang itu memegang/menggenggam (kemaluan) dengan tangannya. bahkan sebahagian yang lain meletakkan syarat jika sentuh dengan syahwat. Orang-orang yang berpendapat batal wudhu dengan menyentuh kemaluan ini juga berkata tidak ada beza samaada menyentuh kemaluan sendiri atau orang lain. Berbeza dengan Daud (al-Zahiri) yang berkata adapun yang batal itu yang ada di dalam dalil, kemaluan sendiri. Ulama yang lain membantahnya (Daud), jika batal wudhu dengan menyentuh kemaluan sendiri – walau dalam keadaan ada keperluan ke arah itu, sedang menyentuh kemaluan sendiri itu adalah harus, maka batal wudhu kerana menyentuh kemaluan orang lain itu – dalam keadaan menyentuh kemaluan orang lain itu adalah maksiat – adalah lebih utama (untuk dikatakan batal wudhu). Dan hukum menyentuh kemaluan orang besar ataupun kecil sama di sisi al-Syafi’ie. Berkata pula al-Zuhri dan al-Auza’ie : “Tidak batal (wudhu) menyentuh kemaluan kanak-kanak, kerana harus menyentuh dan melihatnya, berbeza dengan kemaluan orang dewasa.
Pendapat Yang Dipilih Oleh al-Qaradhawi
Al-Qaradhawi di bahagian akhir fatwanya berkata :
“Dan yang kami pilih (tarjih) ialah pendapat yang pertama, iaitu tidak batal wudhu dengan menyentuh kemaluan. Jika menyentuhnya dengan syahwat (selama-mana tidak keluar sesuatu) hanya disunatkan wudhu sahaja. Kerana sesungguhnya perkara yang termasuk Umum al-Balwa berlaku kepada semua manusia. (jika menyentuh kemaluan membatalkan wudhu) pasti Nabi saw akan menerangkannya dengan penerangan yang menyeluruh, dinaqalkan dari baginda, diketahui di kalangan umat islam (zaman Nabi saw). Tidak dapat digambarkan bahawasanya hukum sebegini hanya khusus diketahui oleh seorang atau dua orang dari kalangan mereka (sahabat Nabi saw), bukan semuanya.
Tidak ada satu hadith yang sahih dalam perkara ini selain hadith Busrah binti Sofwan. Dan yang ajaib, perkara ini yang khusus untuk lelaki dinakalkan dari seoran perempuan. Kalaupun kami berpendapat ia sahih, kami pasti mengatakan : sesungguhnya perkara ini (sentuh kemaluan) padanya mustahab (sunat untuk berwudhu). Ia bertepatan dengan asas yang kami pilih, iaitulah asal dalam arahan-arahan Nabi (selain al-Quran) adalah al-Istihbab (sunat), melainkan setelah tertegaknya qarinah (bukti) yang membawa maksud wajib. (أن الأصل في الأوامر النبوية: الاستحباب، إلا ما قامت قرينة فيه تنقله إلى الوجوب)
Syeikh al-Islam Ibn Taimiyyah berkata :
“Yang lebih zahir bahawasanya wudhu sesiapa yang menyentuh kemaluan adalah mustahab (sunat) bukan wajib.”
Inilah yang jelas dari salah satu riwayat dari imam Ahmad, ini dengan jalan menghimpunkan hadith-hadith dan athar-athar (yang ada tentang wudhu bagi yang menyentuh kemaluan), dengan memahami arahan (berwudhu bagi orang yang menyentuh kemaluan) itu adalah dalam bentuk sunat. Ia tidak berperanan sebagai pembatal kepada sabda Nabi saw “Bukankah ia (kemaluan) sebahagian daripada kamu”. Maka memahami arahan berwudhu sebagai arahan sunat adalah lebih utama dari membatalkannya. – tamat petikan fatwa.
wallahu a’lam. Abdul Kadir
*********************
بسم الله
والحمد لله والصلاة والسلاوم على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد
– Permasalahan batal wuduk kerana menyentuh zakar adalah khilaf feqah yang muktabar. Perselisihan ini timbul sejak generasi awal lagi, dan berterusan sehingga sekarang.
– Sesiapa yang memilih salah satu pendapat kerana berpuas hati dengan hujah yang dikemukakan ulama, maka sesungguhnya dia telah memilih salah satu pendapat yang muktabar. Sebagaimana kata-kata Imam Auzaie dalam masalah memberi salam kepada orang kafir, “Jika kamu memberi salam (kepada orang kafir), maka ada orang-orang soleh sebelum kamu pernah melakukannya. Dan jika kamu meninggalkannya, maka ada orang-orang soleh sebelum kamu meninggalkannya”. (Tafsir Qurtubi 11/112).
Begitu juga dalam masalah membaca Fatihah di belakang imam, telah berkata Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr al-Siddiq, “Jika kamu membaca, maka kamu mempunyai uswatun hasanah (ikutan yang baik) dari kalangan sahabat Rasulullah SAW. Dan jika kamu tidak membaca, maka kamu juga mempunyai uswatun hasanah dari kalangan sahabat Rasulullah SAW”. (Jamik Bayan al-Ilm Wa Fadhlih no: 1690).
– Kesimpulan, permasalahan ini adalah khilaf muktabar. Dan setiap pendapat mempunyai hujahan masing-masing. Seorang muslim penuntut ilmu, haruslah mengikut pendapat yang paling diyakini bertepatan dengan dalil-dalil.
Wallahu A’lam.
Dalil Tentang Sentuh Perempuan Tak Batal Wuduk
Dalil Mazhab Yang Mengatakan Tidak Batal Wudhuk:
DALIL PERTAMA
عن عائشة رضي الله عنها قالت: فقدت رسول الله صلى الله عليه وسلم ذات ليلة فالتمسته بيدي فوقعت يدي على قدميه وهما منصوبتان وهو ساجد وهو يقول “اللهم إني أعوذ بمعافاتك من عقوبتك وأعوذ برضاك من سخطك وأعوذ بك منك لا أحصي ثناء عليك كما أنت أثنيت على نفسك”
Maksudnya: Daripada Aisyah r.a katanya: Aku mendapati Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam tiada pada suatu malam, lantas aku meraba-raba mencarinya dengan tanganku. Lalu tanganku tersentuh dua kakinya yang tegak ketika baginda sujud sambil berkata “Wahai Tuhanku, aku mohon perlindungan dengan kemaafanmu daripada balasanmu, aku mohon dengan redhamu daripada kemurkaanmu, aku mohon denganmu daripadamu. Aku tidak mampu menghitung pujian ke atasmu sebagaimana Engkau sendiri memuji dirimu”.[1]
* Kedudukan Hadis
Hadis ini adalah sahih, diriwayatkan oleh Imam Muslim (dengan sedikit perbezaan lafaz). Lafaz di atas adalah riwayat Imam Al-Baihaqi. Kata Imam Al-Nawawi “Sanadnya sahih”.[2]
* Penjelasan Dalil
Aisyah r.a telah tersentuh kaki Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam dengan tangannya, sedangkan baginda tetap meneruskan solatnya. Ini menunjukkan sentuhan itu tidak membatalkan wudhu’. Jika ia membatalkan wudhu’ sudah pasti baginda akan berhenti.
* Perbincangan
Hadis ini ditakwil oleh ulama mazhab syafie dengan mengatakan kemungkinan Aisyah menyentuh kaki Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam dalam keadaan berlapik.[3]
Namun takwilan ini dianggap oleh sebahagian ulama sebagai takwilan yang jauh, kerana Aisyah menyentuh tapak kaki Nabi yang sedang sembahyang. Kebiasaannya anggota tersebut terdedah.
Berkata pengarang kitab Al-Lubab “Di dalam satu riwayat yang sahih menyebut bahawa tangannya tersentuh tapak kaki Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam sedangkan baginda sujud’…Kebiasaannya bahagian ini tidak tertutup terutamanya ketika sujud”.[4]
Di dalam Syarah Sunan Al-Nasai, Syeikh Muhammad Al-Mukhtar Al-Syanqiti menyebut “Riwayat ini agak jauh untuk ditakwil (dengan berlapik), kerana kebiasaannya kedua-dua kaki terdedah ketika sembahyang sewaktu sujud. Lebih-lebih lagi, pakaian mereka pada waktu itu ialah kain, yang tidak menutup kaki”.[5]
Sebahagian ulama mazhab Maliki pula mentakwilkan dengan mengatakan Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam tidak menyedari kakinya disentuh oleh Aisyah kerana terlalu asyik dengan ibadah. Maka di sisi mereka, jika sentuhan berlaku tanpa disedari atau tanpa qasad maka ia tidak membatalkan wudhu’.[6]
DALIL KEDUA
عن عائشة رضي الله عنها قالت أن النبي صلى الله عليه وسلم قبل بعض نسائه ثم خرج إلى الصلاة ولم يتوضأ
Maksudnya: Daripada Aisyah r.a. katanya “Bahawa Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam mencium sebahagian isteri-isterinya kemudian baginda keluar untuk solat dan tidak mengambil wudhu’”[7]
* Kedudukan Hadis
Hadis ini adalah antara hadis yang paling masyhur di dalam permasalahan ini. Kata Imam Al-Baihaqi: “Ini adalah hadis yang paling masyhur diriwayatkan di dalam bab ini”[8]
Ia diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmizi, Ibnu Majah dan lain-lain. Ia antara hadis yang diperselisihkan kedudukannya adakah sahih atau dhaif.
Antara yang mendhaifkan hadis ini ialah Imam Tirmizi[9], Imam Baihaqi[10], Imam Nawawi[11], dan Al-Hafiz Ibnu Hajar[12].
Hujahnya ialah hadis ini adalah riwayat Habib bin Abi Thabit, daripada Urwah, daripada Aisyah r.a. Mereka mengatakan Urwah di sini ialah Urwah bin Al-Zubair berdasarkan ada riwayat yang menyebut nama penuhnya (Urwah bin Al-Zubair) seperti riwayat Ibnu Majah. sedangkan Habib bin Abi Thabit tidak mendengar hadis melainkan daripada Urwah Al-Muzani. Dan Urwah Al-Muzani pula adalah majhul.
Antara ulama yang mengatakan hadis ini sahih pula ialah Imam Thabari[13] dan beberapa muhaqqiqin di kalangan ulama mutaakhir.
Syeikh Ahmad Syakir di dalam komentarnya terhadap Sunan Tirmizi telah mengemukakan satu perbahasan yang cukup menarik tentang hadis ini. Kesimpulannya hadis ini adalah sahih dan tiada kecacatan padanya. Apa yang disebut oleh beberapa ulama tentang kecacatannya, sebenarnya tidak menjejaskan kesahihan hadis ini.[14]
Syeikh Nasiruddin Al-Albani juga menghukumkan hadis ini sebagai sahih.[15]
Syeikh Muhammad bin Soleh Al-Uthaimin berkata: “Ini adalah hadis yang sahih. Terdapat baginya beberapa syahid (yang menguatkan hadis ini).[16]
* Penjelasan Dalil
Perbuatan cium kebiasannya berlaku dengan sentuhan tanpa berlapik. Ini menunjukkan sentuhan walaupun disertai dengan syahwat tidak membatalkan wudhu’.
Syeikh Muhammad bin Soleh Al-Uthaimin berkata: “Perbuatan cium tanpa disertai syahwat adalah satu andaian yang sangat jauh”.[17]
* Perbincangan
Pendokong mazhab pertama menolak dalil ini dengan berhujah bahawa ia dhaif sebagaimana dinukilkan tadi. Jika diandaikan hadis ini sahih, mereka mentakwil pula dengan mengatakan Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam mencium isterinya dengan berlapik.[18]
DALIL KETIGA
عن عائشة رضي الله عنها قالت إن كان رسول الله صلى الله عليه وسلم ليصلي وأنا معترضة بين يديه اعتراض الجنازة حتى إذا أراد أن يسجد غمزني برجله
Maksudnya: Daripada Aisyah r.a. katanya “Sesungguhnya Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam sedang bersembahyang, dan aku berbaring di hadapannya seperti pembaringan jenazah. Hingga apabila baginda ingin sujud, baginda mencuitku dengan kakinya”[19]
* Kedudukan Hadis
Hadis ini adalah sahih, riwayat Bukhari dan Muslim. Di dalam Sunan Nasai, disebutkan dengan lafaz yang lebih jelas iaitu مسني maksudnya “baginda menyentuhku”. Riwayat ini juga sahih sebagaimana kata Imam A-Nawawi di dalam Majmuk dan Al-Hafiz Ibnu Hajar di dalam Talkhis Al-Habir: “Sanadnya sahih”[20]
* Penjelasan Dalil
Perkataan غمزني di dalam hadis bererti mencuitku. Ia memberi erti Rasulullah menyentuhnya. Kata Ibnu Hajar di dalam Fathul Bari “ Diambil dalil daripada hadis ini bahawa menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu’”[21]
Manakala lafaz مسني (menyentuhku) adalah lebih jelas di dalam pendalilan ini. Kata Al-Hafiz Ibnu Hajar di dalam Talkhis: “Hadis ini dijadikan dalil bahawa perkataan اللمس (menyentuh) di dalam ayat ( Surah Al-Nisa’ ayat 43) adalah bersetubuh, kerana baginda menyentuhnya (Aisyah) di dalam sembahyang dan tetap meneruskannya”.[22]
* Perbincangan
Hadis ini juga ditakwil oleh pendokong mazhab pertama dengan beberapa takwilan. Antaranya Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam menyentuh Aisyah dengan berlapik. Kata Imam Nawawi “Inilah yang zahir bagi seseorang yang sedang tidur di atas hamparan.”[23] Ada juga yang mengatakan hukum ini adalah khusus bagi Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam.[24]
DALIL KEEMPAT
عن عائشة رضي الله عنها أن النبي صلى الله عليه وسلم يقبل بعض نسائه ثم لا يحدث وضوءا
Maksudnya: Daripada Aisyah r.a. bahawa Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam mencium sebahagian para isterinya kemudian baginda tidak memperbaharui wudhu’.[25]
* Kedudukan Hadis
Di dalam hadis ini terdapat perawi yang diperkatakan tentangnya, iaitu Said bin Basyir.
Kata Ibnu Hajar Al-Haithami “Beliau (Said bin Basyir) dianggap thiqah (dipercayai) oleh Syu’bah dan lain-lain. Yahya bin Ma’in dan sekumpulan lagi medhaifkan beliau”.[26]
Di dalam Taqrib Al-Tahzib, Al-Hafiz Ibnu Hajar mengatakan beliau dhaif.[27]
* Penjelasan Dalil
Perbuatan cium kebiasannya berlaku dengan sentuhan tanpa berlapik. Ini menunjukkan sentuhan walaupun disertai dengan syahwat tidak membatalkan wudhu’.
Syeikh Muhammad bin Soleh Al-Uthaimin berkata: “Perbuatan cium tanpa disertai syahwat adalah satu andaian yang sangat jauh”.[28]
* Perbincangan
Selain hadis ini dipertikaikan kesahihannya, ia juga ditakwil dengan takwilan-takwilan yang sama sebagaimana dalil-dalil sebelumnya.
DALIL KELIMA
عن عائشة رضي الله عنها قالت أن رسول الله صلى الله عليه وسلم يتوضأ ثم يقبل بعدما يتوضأ ثم يصلي ولا يتوضأ
Maksudnya: Daripada Aisyah r.a. katanya, “Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam pernah berwudhu’ kemudian baginda mencium selepas berwudhu’ dan kemudian baginda bersembahyang tanpa mengambil wudhu’”[29]
[1] Sahih Muslim bersama Syarah Al-Nawawi (2/212)
[2] Majmuk, Imam Al-Nawawi (2/21)
[3] Majmuk, Imam Al-Nawawi (2/29), ‘Aridhah Al-Ahwazi, Ibnul Arabi (1/105)
[4] Al-Lubab (1/147)
[5] Syarah Sunan Al-Nasai, Al-Syanqiti (2/335)
[6] ‘Aridhah Al-Ahwazi, Ibnul Arabi (1/105)
[7] Sunan Abi Daud (1/234), Sunan Ibni Majah (1/405), Sunan Tirmizi (1/128)
[8] Makrifatul Sunan Wal Athar, Al-Baihaqi (1/376)
[9] Sunan Tirmizi (1/128) Katanya “Aku mendengar Imam Al-Bukhari mendhaifkan hadis ini”.
[10] Katanya “Hadis ini maalul (terdapat kecacatan)” lihat Makrifatul Sunan Wal Athar (1/376)
[11] Kata Nawawi di dalam Majmuk “Ini adalah hadis yang dhaif dengan sepakat para huffaz. Dan antara yang mendhaifkan hadis ini ialah Sufian Al-Thauri, Yahya bin Ma’in, Said Al-Qattan, Ahmad, Abu Daud dan Abu Bakar Al-Naisaburi” Lihat Majmuk (2/28), Khulasah Al-Ahkam, Imam Nawawi (1/137)
[12] Talkhis Al-Habir, Ibnu Hajar (1/199)
[13] Tafsir Thabari (7/73)
[14] (1/134-138)
[15] Sahih Sunan Abi Daud, Al-Albani (1/56)
[16] Al-Syarhul Mumti’, Al-Uthaimin (1/232)
[17] Al-Syarhul Mumti’, Al-Uthaimin (1/232)
[18] Majmuk, Imam Al-Nawawi (2/28)
[19] Sahih Bukhari (m/s:84)
[20] Majmuk, Imam Al-Nawawi (2/27), Talkhis Al-Habir, Ibnu Hajar (1/199)
[21] Fathul Bari, Ibnu Hajar (1/638)
[22] Talkhis Al-Habir, Ibnu Hajar (1/199)
[23] Majmuk, Imam Al-Nawawi (2/27)
[24] Fathul Bari, Ibnu Hajar (1/638)
[25] Sunan Al-Daraquthni (1/337), Majmak Al-Zawaid (1/247)
[26] Majmak Al-Zawaid (1/247)
[27] Taqrib Al-Tahzib, Ibnu Hajar (m/s:374)
[28] Al-Syarhul Mumti’, Al-Uthaimin (1/232)
[29] Sunan Al-Daraquthni (1/334)